Data BPS tahun 2018 menunjukkan angka cadangan (stok) ikan di laut sebesar 12,5 juta ton, naik signifikan jika dibandingkan tahun 2014 sebesar 6,5 juta ton. Sebuah prestasi yang patut diapresiasi. Namun di sisi lain terdapat paradoks kemampuan tangkap nelayan yang hanya bisa mengeksplorasi 50%. Padahal, menurut kesepakatan Sustainable Developmants Goals (SDGs), jika sampai dengan tahun 2025 tidak mampu melakukan tangkap hingga 90%, maka negara yang bersangkutan harus mengijinkan negara lain untuk mengeksplorasi. Tentu hal ini tidak boleh terjadi. Satu hal yang menjadi penyebabnya adalah, masyarakat pesisir (nelayan) belum mampu mengadaptasi teknologi maju seperti halnya Jepang, China, ataupun Norwegia. Nelayan harus mampu beroperasi dengan kapal-kapal di atas 400 gros-ton (GT) untuk menangkap ikan-ikan pelagis di laut lepas sampai ZEE. Dibutuhkan peralatan tangkap dan navigasi serta instrumen deteksi canggih untuk mengetahui lokasi tebaran ikan.
Dengan adanya program pemerintah membangun sumber daya manusia (SDM) kedepan, tentunya harus memprioritaskan masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, agar mampu menyerap teknologi yang diadaptasi dengan kearifan budaya lokal. Kata kuncinya adalah “pendidikan” sebagai upaya mengubah mindset.
Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peranan yang besar bagi upaya peningkatan kesejahteraan serta memengaruhi corak kehidupan masyarakat. Hanya dengan teknologi kita dapat membudidayakan sumber daya alam secara maksimal. Tetapi dalam prosesnya, inovasi teknologi membawa pengaruh yang kuat ke arah perubahan tata nilai dan norma kehidupan masyarakat.
Teknologi dan Perubahan Sosial
Menarik untuk dibahas, isu (tahun 2016) tentang batalnya program pemerintah memberi bantuan pengadaan 1.000 kapal nelayan berbobot mati di atas 30 GT, karena Komisi IV DPR tidak setuju dan mendesak pemerintah agar memprioritaskan yang berukuran lebih kecil (tradisional). Hal ini sebagai upaya mencegah perubahan sosial masyarakat nelayan. Namun menjadi kurang bijak jika penolakan tersebut menentang inovasi teknologi guna meningkatkan kemampuan tangkap. Masalah ini berkaitan dengan proses modernisasi, tidak saja berkaitan dengan proses perubahan yang menyangkut tradisi dan sosial budaya masyarakat pesisir, tetapi juga disebabkan oleh kondisi dan iklim perekonomian yang diciptakan pemerintah seperti apa.
Pada sisi lain, soal kisruh garam impor yang terjadi akhir-akhir ini. Sebagian besar masyarakat mempertanyakan kenapa Indonesia yang lautnya luas masih mengimpor garam. Catatan menunjukkan, tingginya impor garam sebesar 1,8 juta ton (data tahun 2017) disebabkan, antara lain, produksi garam nasional 100 persen masih mengandalkan panas matahari. Proses produksi garam nasional yang masih sangat tradisional tersebut menjadi pemicu rendahnya produksi garam nasional. Sampai saat ini tidak dikembangkan teknologi tepat guna dan ekonomis yang dapat diaplikasikan oleh para petambak garam. Akibatnya, produksi garam nasional masih sangat tergantung pada kondisi cuaca, kalau panas matahari cukup, produksi garam meningkat dan sebaliknya.
Seharusnya sejak lama pemerintah dan perguruan tinggi dapat mengembangkan berbagai teknologi tepat guna dan ekonomis bagi para petani garam. Namun hal itu hanya berhenti di angan-angan. Bahkan kita juga tidak tahu, sebenarnya di kalangan akademisi dan birokrasi, apakah ada ahli garam di Indonesia? Jika jawabannya banyak yang tidak tahu, lantas bagaimana dapat memacu teknologi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya.
Teknologi memang merupakan stimulan untuk meningkatkan produksi pengelolaan sumber daya alam, tetapi harus dipahami bahwa stimulan itu memiliki makna sebagai fungsi terwujudnya struktur sosial dan budaya baru dalam eksistensi masyarakat itu sendiri. Teknologi dapat dijadikan sebagai suatu pusat orientasi dan titik penting untuk memenuhi bagaimana berlangsungnya proses dan mekanisme perkembangan yang terjadi.
Fungsi teknologi bagi struktur masyarakat pesisir adalah memantapkan struktur baru sebagai akibat dari transformasi struktur lama, dimana stuktur lama yang tidak fungsional lagi digantikan kedudukannya oleh komponen struktur yang lebih sesuai dengan pola-pola nilai yang adaptif. Struktur baru yang mewarnai kehidupan masyarakat nelayan misalnya, terutama berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan teknologi kapal yang besar dan alat-alat tangkap baru. Mereka yang menguasai, memanfaatkan, dan memiliki teknologi baru dengan segala perangkatnya menduduki posisi-posisi baru dalam struktur masyarakat, dan mereka ini tentu saja memainkan peranan-peranan sosial tertentu sesuai dengan tuntutan statusnya yang baru. Tetapi perubahan status itu melalui suatu proses peralihan nilai budaya yang apabila tidak dikendalikan akan mengakibatkan konflik horisontal maupun vertikal.
Inovasi teknologi identik dengan terminologi “modernisasi”. Menurut Ralph Linton (1986), pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra-modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menandai negara-negara yang stabil. Modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan social terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan. Dari pengertian ini, apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat nelayan, berarti modernisasi merupakan proses menciptakan masyarakat nelayan yang maju, aman, dan sejahtera; selalu siap sedia menghadapi kemajuan teknologi dan perubahan sosial dengan kemampuan yang selaras dan seimbang.
Analogi kebalikannya bisa berati bahwa proses perubahan sosial pada masyarakat berdampak pada pergeseran tata nilai yang bisa mengakibatkan penolakan terhadap datangnya teknologi tertentu. Hal ini terkait dengan mindset dan budaya. Pengalaman dari penolakan wakil rakyat kita terhadap bantuan 1.000 kapal berbobot 30 GT dari pemerintah merupakan refleksi dari benturan aspirasi masyarakat nelayan (budaya lokal) dengan inovasi teknologi. Penyebabnya adalah, belum ada perencanaan yang matang untuk menghadapi perubahan sosial. Pendidikan sumber daya manusia belum menjadi program prioritas dan masif. Disamping itu, kesiapan para nelayan untuk menerimanya belum disertai dengan penciptaan iklim ekonomi yang kondusif di sektor perikanan.
Kendala lainnya adalah pentingnya menciptakan iklim ekonomi yang kondusif untuk masyarakat pesisir. Hal ini dapat dicermati, seandainya saja benar kapal berbobot besar diberikan kepada para nelayan tradisional, secara ekonomis malah akan makin menjerumuskan nelayan terhadap ketergantungan kepada para tengkulak. Biaya pengoperasian kapal di atas 30 GT cukup besar, bisa mencapai puluhan juta rupiah sekali trip. Apalagi, BBM yang dipakai untuk kapal ikan di atas 30 GT dikenakan harga nonsubsidi (harga industri). Pertanyaannya: darimana para nelayan kecil mendapat biaya operasional kapal tersebut kalau bukan dari para tengkulak? Terlebih pihak perbankan pun belum mau mengucurkan kredit modal untuk para nelayan. Ujung-ujungnya, kapal-kapal itu akan berganti pemilik ke para tengkulak. Kalau hal itu sampai terjadi, jelas bantuan kapal akan semakin menjerumuskan para nelayan kecil pada praktik-praktik yang melanggar hukum.
Perkembangan Masyarakat Pesisir
Di dalam masyarakat dimana terjadinya proses perubahan, terdapat faktor-faktor yang mendorong jalannya perkembangan masyarakat pesisir, antara lain adalah: (1) sistem pendidikan yang maju, (2) sistem informasi dan komunikasi terbuka, dan (3) adanya kemauan keras sebagai akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
Sejauh ini sejumlah kebijakan untuk menyejahterakan masyarakat pesisir masih menyisakan pertanyaan, apakah sudah berorientasi dan berlandaskan pada proses perubahan menuju masyarakat pesisir modern yang diharapkan? Jika tidak, akan berakibat terjadinya kesenjangan dalam taraf keberhasilan dari perubahan yang dimaksud. Implementasinya memang tidak mudah karena menyangkut beberapa faktor yang menjadi masalah tertentu dalam proses transformasi itu, antara lain, pertama bagaimana menumbuhkan kemampuan menggunakan teknologi yang menghendaki syarat-syarat pendidikan tertentu, karena laut merupakan ruang hidup penuh tantangan. Kedua, bagaimana menumbuhkan kemampuan rasional dalam hal penggunaan sarana dan waktu untuk mencapai kesejahteraan. Ketiga, sebaliknya bagaimana tetap memelihara nilai budaya masyarakat pesisir agar tidak terlemparkan dalam proses pertentangan yang bisa mengakibatkan disintegrasi sosial. Semuanya itu harus didasarkan pada perencanaan yang matang dan berkelanjutan.
Akhirnya, sejauh menyangkut bahasan di atas, yang perlu digarisbawahi adalah, inovasi teknologi secanggih apa pun yang diterapkan di Indonesia tidak akan membuat masyarakat pesisir kita maju jika teknologi itu tercerabut dari peri kehidupan masyarakat pesisir sendiri. Paling banter selera masyarakat pesisir kita dimanfaatkan oleh pemodal (tengkulak) agar bisa jadi pasar murah bagi mereka. Dengan demikian untuk mengantisipasinya kita harus memperhatikan rekomendasi alternatif berikut ini, pertama, bersikaplah realistis bahwa masyarakat pesisir kita masih agraris tradisional, dan karena itu harus dilayani dengan teknologi yang tepat guna. Kita akan meloncat ke teknologi yang canggih, namun harus disambungkan dengan perilaku sosial. Kedua, teknologi bukan urusan para teknisi, tapi urusan warga masyarakat seluruhnya. Untuk itu perlu integrasi inovasi dengan politik, ekonomi, dan budaya; jadi tidak cukup dengan utak-atik pencitraan salah satu sektor saja.
Semuanya itu harus didasari oleh perencanaan program pembangunan SDM yang matang dan dijalankan melalui proses adaptasi. Upaya percepatan proses adaptasi meliputi manajemen usaha, keterampilan pengoperasian alat produksi (misalnya kapal dan alat tangkap), teknik permesinan, serta pengetahuan tentang karakteristik sumber daya kelautan. Teori kadang-kadang dijalankan tidak semudah praktiknya, demikian juga merealisasikan program-program semacam itu memang tidak gampang, tetapi bisa!**