Silang pendapat China dan Indonesia tentang klaim perairan Laut Natuna belum selesai. Indonesia pun telah menamakan laut di bagian Utara Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan dengan nama Laut Natuna Utara. Terkait polemik dan silang pendapat soal klaim China tersebut, awal tahun 2020 ini menjadi trending topic di berbagai media massa.
Sebenarnya kalimat “klaim Natuna” dan “klaim perairan Laut Natuna” tidak tepat digunakan, karena China tidak pernah mengklaim Natuna dan perairan Laut Natuna.Yang diklaim China adalah “nine dashed line” atau sembilan garis putus-putus adalah hampir di seluruh perairan LCS, termasuk sekitar kurang lebih 83.000 Km persegi perairan yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Jadi yang diklaim adalah perairan yurisdiksi Indonesia sebagai wilayah berdaulat, bukan Natuna atau perairan Laut Natuna yang merupakan perairan negara atau wilayah kedaulatan.
Kita perlu membedakan isu Laut China Selatan (LCS) dengan isu Laut Natuna Utara (LNU). Yang sedang ribut di awal Januari 2020 ini dari sisi Indonesia adalah isu LNU, dimana klaim “nine dash line” China sebagian berada overlap sekitar 83.000 Km persegi di perairan yurisdiksi ZEEI.
Kapal-kapal ikan asing (KIA) China yang mencuri ikan di wilayah tersebut bukan kapal ikan biasa. Mereka adalah maritime milisia atau komponen pendukung pertahanan laut China atau little blue man yang ditugaskan menjaga wilayah sepanjang klaim “nine dash line” tersebut. Karena KIA tersebut mencuri ikan di perairan yurisdiksi ZEEI yang dilindungi oleh Coast Guard-nya, maka Pemerintah RI dalam hal ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memprotes keras kepada Kedubes China. Sementara di laut, unsur-unsur tempur laut Guspurla Koarmada I bersama unsur dari Bakamla melakukan pengusiran dan penangkapan terhadap KIA tersebut. Bahkan TNI sendiri sudah mempersiapkan Operasi Siaga Tempur di perairan Natuna.
Isu LCS berarti isu di luar perairan yurisdiksi ZEEI, dimana ada klaim fitur LCS oleh enam claimant state yakni China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sedangkan Indonesia tidak sebagai claimant state, karena tidak mempunyai kepentingan secara langsung terhadap perebutan wilayah tersebut, namun Indonesia mempunyai kepentingan regional dan internasional yang merupakan bagian dari kepentingan nasional di wilayah ini.
Indonesia sebagai bagian dari ASEAN dan bagian dari masyarakat internasional yang bertindak sebagai honest peace broker terhadap konflik LCS. Perlu juga diluruskan bahwa China mengganggu wilayah kedaulatan Indonesia di Natuna, ini tidak benar, karena locus yang dipermasalahkan bukan di wilayah kedaulatan perairan Indonesia, tapi di wilayah hak berdaulat perairan yurisdiksi Indonesia.
Satu hal lagi yang menjadi catatan penting adalah ulasan CNN Indonesia pada tanggal 3 Januari 2020, terkait kalimat, “Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) menuturkan puluhan kapal nelayan China masih bebas berlayar di landas kontinen Indonesia di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau”. Kalimat itu perlu dikoreksi, yaitu bahwa kapal-kapal tersebut tidak mungkin berlayar di landas kontinen Indonesia, karena landas kontinen adalah wilayah yurisdiksi di dasar laut dan tanah di bawahnya. Kalimat yang benar seharusnya adalah, “puluhan kapal nelayan China masih bebas berlayar di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau, karena ZEE adalah kolom air wilayah yurisdiksi, mulai dari permukaan hingga ke dasar laut. Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. **