“Pageblug” Covid-19
Yulianto Masroerie (Pemerhati Kesehatan)
MASYARAKAT Jawa, terutama para orang tua tentu mengenal istilah pageblug. Demikian juga orang Sunda, yang menyebutnya dengan pagebug. Keduanya memiliki arti wabah yang berkaitan dengan penyakit. Pageblug atau pagebug seperti itu beberapa puluh atau ratus tahun lalu pernah terjadi di negara kita yang menyebabkan ribuan orang menjadi korbannya. Pandemi seperti itu juga terjadi di negara-negara lain yang mengakibatkan puluhan ribu nyawa melayang.
Kala itu para orang tua terutama di Pulau Jawa selalu mewanti-wanti kepada anak-cucunya agar menghindar dari pageblug, ketika penyakit itu menyebar dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Para orang tua meminta anak-cucunya tidak keluar rumah agar tidak terkena dulitan. Yang dimaksud dengan dulitan adalah “penculikan” yang dilakukan oleh makhluk halus yang diyakini sebagai penyebab pageblug. Demikian mematikannya pageblug tersebut di Pulau Jawa, maka ada istilah “isuk loro, sore mati. Sore loro, isuk mati”. Artinya, sore sakit, paginya meninggal dunia; dan paginya sakit, sore meninggal dunia.
Apa yang tergambarkan pada masa lalu itu, kini terulang kembali. Tidak hanya negara kita yang mengalaminya, tapi hampir seluruh dunia. Bahkan negara-negara besar dan maju, seperti Amerika Serikat dan Italia, tidak luput dari virus corona atau yang dikenal dengan Corona Virus Disease (Covid). Karena awal terjadinya tahun 2019, maka disebut sebagai Covid-19. Sekitar lima bulan ini, virus corona melanda dunia yang menyebabkan jutaan orang sakit dan puluhan ribu meninggal dunia. Kita tentu turut berduka-cita atas wafatnya korban Covid-19, termasuk dokter dan paramedis yang berusaha menyelamatkan korban yang sakit.
Di Indonesia Covid-19 juga terjadi. Korban berjatuhan, baik yang sakit mapun meninggal dunia. Rumah sakit-rumah sakit disiapkan dan dibangun khusus untuk menolong korban akibat penyakit yang belum ada vaksinnya itu. Yang sangat menyedihkan ada korban meninggal dunia di negara kita yang ditolak oleh masyarakat untuk dimakamkan di wilayahnya. Masyarakat khawatir jika korban meninggal dunia akibat Covid-19 dimakamkan di wilayahnya, maka wilayah atau daerah tersebut secara menyeluruh akan terjangkiti virus corona. Sebenarnya penolakan seperti itu tidak boleh terjadi jika masyarakat memahami bahwa kekhawatiran pemaparan itu tidak akan terjadi. Karena pemerintah telah mengeluarkan ketentuan, prosedur, dan protokol pemakaman bagi korban Covid-19.
Kita semua berharap pandemi Covid-19 segera berakhir dan masyarakat bisa hidup normal seperti sebelum virus corona menyebar. Tentu ada hal-hal penting yang bisa diambil dari bencana nasional yang melanda Indonesia ini. Kami berharap dunia segera menemukan vaksin untuk penyakit tersebut, sehingga tidak ada lagi umat manusia yang menderita.
Budaya dan Kearifan Lokal
Dari pandemi yang melanda dunia tahun 2020 ini kita bisa melihat negara mana yang terparah dan korban jiwanya sangat banyak. Juga kita bisa melihat negara mana yang mampu bertahan terhadap Covid-19, sehingga jumlah korbannya tidak meledak.
Kita semua tahu bahwa penyakit tersebut berawal dari Wuhan di China, akhir Januari 2019. Jumlah korban di Negara Tirai Bambu itu cukup banyak waktu itu. Tapi tindakan cepat dilakukan oleh Pemerintah China, sehingga penyebaran virus itu akhirnya bisa direm. Tidak demikian dengan Amerika Serikat dan Italia yang jumlah korban jiwanya sangat banyak. Hal tersebut konon kabarnya, selain karena kekurangan peralatan bantu pernapasan, masyarakat di kedua negara itu menganggap remeh Covid-19. Masyarakatnya melanggar ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Padahal tindakan dan ketentuan yang diambil oleh pemerintah itu dilakukan guna memutus mata-rantai menyebarnya virus mematikan itu.Karena itu Pemerintah Indonesia juga mengambil langkah-langkah agar virus corona tidak kian menyebar dan menyebabkan jumlah korban jiwa meroket. Kebijakan yang dilakukan di antaranya adalah masyarakat agar mentaati ketentuan seperti menjaga jarak antar-sesama di manapun berada atau social distancing dan phisycal distancing, mengenakan masker, tidak keluar rumah, menjaga kebersihan, dan tidak mudik pada Hari Raya Idul Fitri.
Meski tidak memberlakukan lockdown seperti dilakukan oleh beberapa negara, pemerintah akhirnya memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tujuannya satu: memutus penyebaran virus corona. Masyarakat yang biasa bekerja di kantor, diminta untuk melakukan pekerjaannya di rumah (work from home/WFH).
Konon kabarnya negara yang dinilai berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19 adalah Jepang. Jumlah korban, baik yang sakit atau meninggal dunia tidaklah banyak. Terlepas benar tidaknya kabar tersebut, masyarakat Jepang sejak kecil telah terbiasa hidup bersih. Cuci tangan, mengenakan masker, dan tidak berjabat tangan merupakan budaya hidup masyarakat Jepang. Sebagai ganti berjabat tangan, masyarakat di Negeri Matahari Terbit itu menggantinya dengan membungkukkan badan kepada sesama. Kebersihan juga sangat dijaga oleh mereka. Seperti setelah mereka menggunakan wastafel umum, maka kebersihannya tetap terjaga. Selain itu, mereka juga selalu mengenakan masker kemanapun pergi.
Budaya dan kearifan lokal seperti itu sebenarnya pernah dimiliki orang Indonesia. Pada masa lalu di daerah Pulau Jawa, masyarakat selalu menjaga kebersihan. Di pedesaan-pedesaan bisa dijumpai di depan rumah selalu terdapat gentong berisi air bersih yang lengkap dengan gayungnya. Tujuannya agar orang yang masuk ke dalam rumah dalam kondisi bersih, terutama tangan dan kakinya.
Tapi budaya masyarakat Jawa itu lambat laun tergerus oleh kemajuan zaman. Saat ini apa yang dilakukan oleh para orang tua zaman dulu terulang kembali. Dengan adanya Covid-19, seluruh masyarakat setelah bepergian atau bekerja diharapkan mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer. Bahkan pakaian yang dikenakan agar dilepaskan dan diganti dengan pakaian bersih. Hal itu dimaksudkan jika di pakaiannya menempel virus, maka virus –virus corona– tidak masuk ke dalam rumah dan tidak memapari anggota keluarga lainnya.
Kearifan lokal juga telah dilakukan oleh orang Sunda. Ketika masyarakat diminta untuk berjemur di pagi hari sebagai upaya menjaga kesehatan tubuh, banyak yang bingung sebaiknya berjemur pada pukul berapa? Sebab, ada yang mengemukakan untuk memperoleh ultra violet dari sinar matahari pagi, ada yang berpendapat pukul 10.00; tapi ada juga yang menyebutkan sebaiknya pukul 09.00. Padahal orang Sunda, sejak baheula sudah ada patokan untuk menjemur badan yang baik yaitu pukul 09.00.
Ibarat Perang Berlarut
Pandemi Covid-19 –ada yang mencurigai sebagai senjata biologi, tapi sulit dibuktikan– telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan manusia. Tidak hanya negara berkembang yang menjadi korbannya, tapi juga negara besar dan maju. Seluruh kegiatan di negara-negara itu lumpuh. Perekonomian dunia morat-marit, banyak kegiatan usaha gulung tikar, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menyebabkan pengangguran terjadi dimana-mana, moda transportasi darat, laut, dan udara berantakan, serta kriminalitas meningkat.
Untuk mengatasi itu, pemerintah dan berbagai kalangan mampu, termasuk di negara kita berusaha memberikan bantuan kepada warga masyarakat yang terdampak Covid-19. Sayangnya di lapangan ketidakpuasan masyarakat terjadi, padahal pemerintah dan berbagai kalangan telah menggelontorkan anggaran yang tidak sedikit.
Ulama sekaligus ilmuwan muslim yang terkenal dibidang ilmu kedokteran, Ibnu Sina pernah berucap kepanikan adalah separo penyakit, ketenangan adalah separo obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan. Karena itu masyarakat hendaknya tidak panik, tapi tetap waspada menghadapi Covid-19.
Kata kunci untuk mencegah kian merebaknya virus Corona adalah masyarakat mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika tidak, maka berbagai upaya yang telah dilakukan akan sia-sia. Covid-19 akan terus merebak dan jumlah korbannya akan semakin meningkat. Tentu bukan kondisi itu yang diharapkan oleh masyarakat.
Pemerintah sangat berharap Covid-19 bisa diatasi secara bersama-sama, sehingga penyebaran virus corona bisa distop secara tuntas. Istilah militernya, kita semua menghadapi perang berlarut. Perlu kesabaran, ketenangan, serta harus memiliki daya tahan dan mental yang kuat.