PEPATAH “mulutmu harimaumu” atau ungkapan “lidah lebih tajam daripada pedang”, sudah banyak diketahui masyarakat di berbagai belahan dunia. Ucapan pedas dan menyakitkan yang diucapkan seseorang kepada orang lain melalui lisan atau mulut, tentu akan membekas dan tidak mudah hilang. Karena itulah muncul pepatah “mulutmu harimaumu”.
Jika seseorang terluka karena pedang, kemungkinan untuk sembuh bisa saja terjadi; tapi bagi orang yang terkena “lidah yang tajam” akan merasa sakit sepanjang hidupnya. Banyak orang menjaga lisannya agar tidak menjadi “mulutmu harimaumu”, apalagi jika kata-kata atau kalimat nylekit yang diucapkan seseorang, akhirnya menjadi “senjata makan tuan”. Tapi pepatah dan ungkapan itu, pada zaman now ini, mulai tergeser dari “mulutmu harimaumu” menjadi “jari-jarimu harimaumu”.
Dengan ketukan lembut jari-jari di layar gadget atau papan keyboard komputer, dalam hitungan detik dunia bisa heboh. Masyarakat di suatu negara atau wilayah yang semula hidup tenang, sejahtera, dan bahagia; bisa saja menjadi beringas dan bahkan mengangkat senjata akibat “jari-jarimu harimaumu”. Perang antar-suku, antar-kampung, antar-agama, antar-negara, dan antar-antar yang lain; bisa saja meledak seketika, hanya gara-gara suatu tulisan atau berita yang belum tentu kebenarannya.
Kita semua tahu pada zaman serba digital ini, masyarakat dengan mudah memiliki alat komunikasi berupa handphone (HP). Bukan hal yang aneh, saat ini melihat seorang pedagang sayur, pekerja galian kabel, atau pemulung barang-barang bekas bisa bertelepon-ria, ber-whatsapp, chatting, dan lain sebagainya menggunakan HP. Kondisi itu sangatlah langka beberapa puluh tahun lalu. Jangankan HP, telepon rumah yang menggunakan kabel saja waktu itu juga jarang yang memilikinya.
Tapi di era globalisasi dan mudahnya berkomunikasi, membuat masyarakat menggantungkan diri kepada HP. Alat komunikasi berupa HP itu mampu “mendekatkan” orang yang jauh dengan orang lain, karena komunikasi yang lebih mudah dan daya jangkaunya tidak terbatas. Tapi, gara-gara HP pula seseorang juga menjadi “jauh”, misalkan di dalam rumah; karena anggota keluarga itu sama-sama “sibuk” dengan HP-nya masing-masing, sehingga mereka jarang berkomunikasi dengan cara tatap muka. Jadi meski mereka dekat, tapi sebenarnya “jauh”.
Pada zaman now pula, seseorang dengan mudah bisa mengakses berbagai informasi melalui HP. “Mbah” Google menjadi kunci bagi seseorang untuk mencari informasi yang diinginkan. Media sosial bermunculan dan menyemarakkan jagad maya. Bermuncullannya media sosial itu dibarengi dengan kreativitas masyarakat untuk memposting tulisan, cerita, dan lain sebagainya yang bisa langsung diakses oleh masyarakat lainnya. Tidak jarang tulisan-tulisan itu bernada jenaka, tapi tidak sedikit pula yang mengandung ujaran kebencian.
Tulisan yang bernada jenaka atau candaan, terkadang membuat pembacanya tersenyum.
Suami: Aku sudah menunggu saat seperti ini sejak lama. Akhirnya kesampaian juga.
Istri: Apakah kau rela kalau aku pergi meninggalkanmu?
Suami: Tentu tidak! Jangan pernah kau berpikiran seperti itu.
Istri: Apakah kau benar-benar mencintaiku?
Suami: Tentu! Selamanya akan tetap begitu.
Istri: Apakah kau pernah selingkuh?
Suami: Tidak! Aku tak akan pernah melakukan hal itu.
Istri: Maukah kau memelukku?
Suami: Ya.
Istri: Hmmmm . . . Sayangku . . . .
Catatan:
Nah sekarang cobalah membacanya bersama istri dari bawah ke atas agak keras sedikit, tentu ceritanya akan lain.
Undang Undang ITE
Selain tulisan-tulisan jenaka dan menggelitik, banyak pula tulisan yang bernada ujaran kebencian, masalah-masalah berbau politik, menohok seseorang, dan hoax. Tidak sedikit orang yang membuat tulisan bernada ujaran kebencian terpaksa berurusan dengan hukum, karena menyangkut Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang Undang tersebut kemudian diubah menjadi Undang Undang No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang Undang No 11 tahun 2008 tentang ITE.
Undang Undang tersebut mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum. Undang Undang itu memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pada Pasal 27 ayat 3 Undang Undang ITE tertulis “melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Meski sudah diundangkan sejak tahun 2008 dan diubah 2016 serta sanksinya sudah jelas, masih saja ada orang yang “tergelincir” dan menjadi korban Undang Undang ITE. Contohnya adalah beberapa orang istri dari oknum prajurit TNI terpaksa berurusan dengan hukum, karena ketukan jari-jemari di HP-nya. Demikian juga “memanas”-nya Papua, akibat ketukan-ketukan jari pada layar HP yang menimbulkan ujaran kebencian.
Untuk itu alangkah baiknya jika semua orang lebih bijaksana untuk menyaring tulisan-tulisan sebelum men-“sharing”-nya. Karena memang jari-jarimu kini bisa menjadi “harimaumu”! (Jalasena, November 2019)