Kemajuan pendidikan politik saat ini dapat dikatakan cukup baik. Secara epistimologis, setidaknya dari hasil survei Litbang Kompas (08/01/2019) dapat menjadi salah satu indikator yang menguatkan premis bahwa kesadaran demokrasi makin meningkat. Dengan mengambil responden dari 17 kota besar di Indonesia, terhadap pertanyaan, apa yang paling penting disampaikan capres-cawapres, sebesar 51,30% responden menjawab: visi dan misi. Sedangkan pada pertanyaan, penting atau tidak pentingkah mengetahui visi, misi, dan program kerja capres-cawapres, jawabannya: sangat penting 26,35% dan penting 64,67% (total 91%).
Aspirasi yang tercermin dari hasil survei di atas mudah-mudahan menjadi koreksi serius bagi para kontestan untuk memperbaiki forward campaign strategy mereka, yang tersisa tinggal dua bulan ke depan, dengan mengedepankan visi-misi yang lebih kredibel dan berwawasan Nusantara. Akan menjadi nihil kemanfaatannya ketika para kontestan hanya saling menyerang dan menegasikan kompetitornya, apalagi melupakan argumentasi visi-misi-program mereka. Kondisi semacam ini justru mengotori pembelajaran politik masyarakat yang selama ini sudah terbangun menuju tingkat kesadaran yang lebih baik.
Suatu visi atau wawasan adalah kemampuan untuk melihat pada inti persoalan bangsa (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia). Hal inilah yang seharusnya menjadi titik krusial menerjemahkan kehendak rakyat dalam rangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat di negara kepulauan yang bernama Indonesia. Wawasan Nusantara mengamanatkan hal yang paling hakiki tentang peradaban Nusantara. Bahwa kita hidup dalam lingkungan berkultur bahari dan alam kelautan, maka cara pandang kita adalah mawas ke dalam (inward looking) dengan memandang laut sebagai masa depan bangsa dan mawas keluar (outward looking) yang memandang kemaritiman sebagai peradaban dunia, karena kepentingan negara-negara di dunia akan sangat ditentukan oleh penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan laut untuk kemakmuran yang berkelanjutan bangsanya maupun umat manusia (Kusumastanto, 2018).
Analoginya, menjadi keniscayaan ketika para kontestan capres-cawapres menawarkan visi, misi, dan program pembangunan berlandaskan jati-diri bangsanya. Visi harus dielaborasi menjadi misi. Dengan misi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim berarti telah mengartikulasikan arah pembangunan yang sesuai dengan cita-cita nasional, yakni mewujudkan masyarakat adil makmur berasaskan negara kepulauan. Persoalannya adalah, apakah kepemimpinan bangsa telah menerjemahkan wawasan tersebut sebagai aspirasi rakyat yang harus diupayakan sebagai inti persoalan bangsa dan diimplementasikan menjadi program pembangunan berkelanjutan. Kenyataannya, narasi visi-misi-program yang ditawarkan para kontestan Pilpres 2019, minim isu maritim. Hal ini menjadi “pekerjaan rumah” sekaligus tantangan besar yang harus kita hadapi. Artinya, membangun negara maritim hendaknya dijalankan dalam proses jangka panjang secara kerkesinambungan oleh siapapun pemimpinnya. Realisasinya dimulai dari komitmen politik dalam kontestasi demokrasi lima tahunan sebagai program-program pembangunan berorientasi negara kepulauan.
Telah banyak dibahas betapa besarnya nilai strategis Indonesia baik secara politik maupun ekonomi. Letak Indonesia di posisi silang dunia menjadi pusat pendulum perdagangan dunia lewat laut (merchant maritime highway), ini adalah potensi keekonomian yang sangat menjanjikan. Sebesar 70% perdagangan dunia diangkut lewat laut dimana 40%-nya melewati Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) termasuk Selat Malaka. Bersama dengan pemanfaatan kekayaan sumber daya kelautan (ocean resources) lainnya yang bisa dieksplorasi secara optimal, maka total nilai ekonominya mencapai pendapatan 1,5 triliun dolar AS/tahun. Sungguh luar biasa. Hal ini tentu bisa menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan. Bahkan historiografi terbaru tentang kawasan Nusantara memperlihatkan konsensus bahwa masa pra-modern pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan gambaran tetap dari kawasan ini. Dengan demikian, pandangan yang biasanya melukiskan perekonomian pra-modern dari kawasan ini sebagai sesuatu yang secara intrinsik bersifat statis tidak lagi valid (Houben, 2002).
Penjabaran Program Kerja
Mengenai kenapa visi maritim tidak tampak secara nyata dalam visi-misi para kontestan, ada yang berargumentasi bahwa hal itu sudah terkandung di dalamnya. Padahal mengimplisitkan inti persoalan bangsa menjadi sesuatu yang “terkandung” bisa dimaknai sebagai logika inversitas yang men-justifikasi nilai-nilai dari visi-misi itu sendiri. Dengan demikian justru kita harus meletakkan inti (core) tersebut bukan secara implisit, tetapi sebagai milestone penjabaran program kerja secara komprehensif dan terukur. Ada tiga basis pertimbangan yang melandasi program kerja.
Pertama, terkait dengan kultur pembangunan. Selama ini tumbuh kerancuan identitas, sebab meski telah terbangun persepsi kewilayahan maritim, namun kultur yang kemudian terbangun adalah sebagai bangsa agraris. Paradigma demikian ini menyebabkan program pembangunan lebih bias ke daratan. Padahal untuk mewujudkan negara maritim, kita harus bisa menguasai, mengelola, dan memanfaatkan laut secara optimal yang terintegrasi dengan pulau-pulau (daratan) dan udara. Dengan kultur maritim yang menjiwai bangsa, secara otomatis akan tumbuh kesadaran mitigasi bencana karena dua-pertiga wilayah Indonesia berupa laut yang mengidentifikasi garis-garis rawan pergeseran bumi dan gunung berapi.
Kedua, pembangunan yang terintegrasi, adil, dan merata untuk meniadakan perbedaan (gap) pertumbuhan ekonomi antar-wilayah, terutama antara wilayah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur. Sistem keekonomian sekarang masih berat ke wilayah Indonesia Barat (terutama Jawa). Fenomena kepentingan politik sesaat yang berkonotasi demi pemenangan Pemilu karena 60% pemilih ada di Jawa, harus disingkirkan. Padahal wilayah Indonesia Timur dengan potensi laut dan pesisirnya mempunyai nilai ekonomi sangat besar, terutama Laut Makassar, Laut Banda dan Laut Arafuru, pesisir Papua, Maluku, NTT, NTB, dan Sulawesi. Untuk itu pembangunan dengan memberdayakan komunitas pesisir secara khusus menjadi keniscayaan. Juga membangun klaster-klaster komoditas dan industri secara masif tentu akan menyangga sistem konektivitas maritim secara signifikan. Ini adalah wujud merealisasikan “laut sebagai pemersatu, bukan pemisah”.
Ketiga, pengakuan sebagai negara kepulauan (UNCLOS 1982) mengharuskan Indonesia untuk segera membenahi kemampuannya dalam menjaga keamanan dan stabilitas nasional beserta sumber daya yang dimilikinya. Maraknya perebutan arena laut oleh negara-negara di dunia saat ini disebabkan adanya kepentingan ekonomi mereka melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi lestari di laut dan minyak. Semuanya merupakan sumber ancaman yang bersifat multidimensional, termasuk pelanggaran kedaulatan, pencurian kekayaan alam, terorisme, imigran gelap, narkoba, dan perusakan lingkungan. Dalam perspektif nasional, kendala ancaman terorisme, potensi disintegrasi dan intoleransi akan terselesaikan jika visi maritim terimplementasikan secara nyata dalam wadah NKRI.
Kepemimpinan Nasional
Suatu program adalah rancangan mengenai asas-asas serta dengan usaha-usaha dalam ketatanegaraan. Realisasinya tentu perlu pembuktian para pemimpin. Kini saatnya Indonesia harus merefleksikan kepemimpinan nasional yang kuat sebagai kekuatan imperatif yang mampu menjalankan politiknya dan menggerakkan pembangunan nasional secara efektif di negara kepulauan. Hal ini dipahami sebagai langkah antisipatif menghadapi globalisasi. Seperti yang diingatkan oleh Friedheim and Michaelis (2001), agar semua negara mampu mengembangkan pola pemanfaatan laut yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan kalkulasi biaya politik dan ekonomi, serta memahami secara konsisten prinsip pengelolaan keamanan maritim dan sumber daya yang lestari.
Karenanya, Pemilu 2019 diharapkan melahirkan putra-putri terbaik bangsa yang mampu melakukan perubahan, berikut komitmen dan paradigma pembangunannya yang berorientasi jati diri bangsa. Pembangunan itu hendaknya dilaksanakan secara berkesinambungan oleh siapapun pemimpinnya, dalam suatu kebijakan dan strategi yang integratif. Dengan model demikian, maka perwujudan “tanah air” sebagai satu kesatuan dianggap telah sesuai dengan aspirasi falsafah Pancasila. Semoga harapan ini menjadi kenyataan.**