SEJAK ditetapkannya Jokowi–Ma’ruf sebagai Presiden–Wakil Presiden terpilih 2019–2024, muncul optimisme besar atas keberlanjutan mewujudkan visi Poros Maritim Dunia. Seperti kita ketahui, membangun sebuah “poros” sebagai konstruksi penggerak sistem dinamika maritim yang kokoh, tentu diperlukan kekuatan domestik yang mampu menggerakkan roda-roda lain ikutannya. Untuk itu, penguatan program Sistem Konektivitas Maritim harus menjadi bagian komprehensif dari pembangunan nasional ke depan.
Sistem konektivitas menyangkut penguatan infrastruktur maritim terintegrasi. Sistem ini tidak terlepas dari jaringan transportasi laut sebagai tulang punggung logistik maritim, yang mendasarkan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah/pulau-pulau. Keberhasilan Jokowi-JK membangun infrastruktur selama lima tahun terakhir merupakan prestasi tersendiri karena berdampak pada penguatan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun yang terkait dengan kemaritiman masih perlu perluasan berlanjut. Selama ini infrastruktur maritim masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2016/2017, peringkat Indeks Kinerja Logistik (sebagai indikator infrastruktur dan konektivitas maritim) Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 155 negara yang disurvei. Peringkat ini berada jauh di bawah Singapura ke-5, Malaysia ke-32, Thailand ke-45, dan Fipina ke-48. (Penulis membandingkan dengan negara-negara Asean, karena secara geografis wilayahnya sama berada di equilibrium perdagangan maritim dunia, bahkan Indonesia terletak pada posisi silang dunia yang memiliki jalur ALKI).
Kata kuncinya adalah terbangunnya infrastruktur strategis secara seimbang dan terintegrasi yang menyangkut prioritas pembangunan konektivitas, meliputi infrastruktur fisik (hard infrastructures) terdiri dari subsektor industri perkapalan, logistik dan jasa pelabuhan, masalah pelayaran dan program tol laut (shipping connectivity); dan infrastruktur nonfisik (soft infrastructures), meliputi sistem regulasi, hukum, dan institusional.
Integrasi Konektivitas
Semua subsektor di atas secara operasional mempunyai ketergantungan satu sama lain. Karena itu, jika upaya mengatasi tantangan dilaksanakan secara parsial tentu tidak akan menyelesaikan masalah, karena banyak persoalan yang muncul dari implementasi sebab-akibat yang ditimbulkan. Perlu perencanaan secara terintegrasi agar sistem konektivitas mencapai hasil guna yang efektif.
Berikut ini adalah identifikasi persoalan dari implementasi sebab-akibat yang dimaksud, menyoal beberapa hal yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan konektivitas ke depan.
Pertama, tentang kepelabuhanan dan regulasi. Implementasi kebijakan Jokowi membangun infrastruktur pelabuhan dalam lima tahun terakhir ini telah banyak menampakkan hasil. Pemerintah memang tengah membangun pelabuhan baru dan merevitalisasi pelabuhan lama yang kurang ideal. Total ada 27 pelabuhan baru yang dibangun, termasuk di antaranya Pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelabuhan Makassar. Kapasitas kargo meningkat dari 16,7 juta TEU naik menjadi 19,7 juta TEU di tahun 2017, serta ditargetkan meningkat menjadi 20,2 juta TEU di tahun 2020.
Meski demikian, keterlambatan waktu di pelabuhan masih menjadi masalah bagi para pengusaha angkutan laut (pelayaran), meskipun telah terjadi peningkatan kinerja di pelabuhan-pelabuhan. Khusus di Pelabuhan Jakarta, di tahun 2012 produktivitasnya masih 60-65 peti kemas per jam. Di tahun 2017 menjadi 80-90 peti kemas per jam. Produktivitas ini masih kalah bersaing dengan Malaysia yang mempunyai produktivitas 130-140 peti kemas per jam, atau Singapura 200 peti kemas per jam.
Disamping itu, dengan adanya Undang Undang Pelayaran tahun 2008, pelabuhan mempunyai sistem tata kelola yang baru. Terutama dalam mengantisipasi asas cabotage, dimana pengangkutan domestik harus dilayani kapal berbendera nasional. Persoalannya, seberapapun banyaknya kapal-kapal berbendera nasional tetap akan kesulitan menuai untung jika harus bersaing dengan kapal-kapal berbendera asing pembawa barang ekspor-impor; hal ini sebagai akibat dari regulasi yang belum tertata dengan baik. Belum lagi ongkos kepelabuhanan yang belum berdaya saing optimal.
Menyoal Tol Laut
Kedua, masalah Program Tol Laut. Ide Jokowi yang telah berjalan selama empat tahun belakangan ini merupakan ide yang brilian. Buktinya dengan Program Tol Laut telah berhasil menurunkan disparitas harga (bahan pokok, semen, dan BBM) antara wilayah Indonesia Barat dan Timur. Penurunannya 12-28 persen. Program ini menyinggahi empat pelabuhan hub, enam pelabuhan transshipment, dan 66 pelabuhan singgah. Meski demikian, masih terjadi ketimpangan muatan ketika kapal-kapal kembali berlayar dari Timur ke Barat. Hal ini menyebabkan beaya muatan barang (freight cost) lebih tinggi. Konsekuensinya, pemerintah menggelontorkan subsidi sebesar Rp1,266 triliun selama empat tahun terakhir.
Persoalannya, ketika kita mengklaim terjadi penurunan harga bahan pokok hingga 28 persen di wilayah Timur, bahkan ke depan diharapkan harga sama; tidak serta-merta dapat dimaknai sebagai suatu keberhasilan, karena tidak linier dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Penurunan disparitas yang terjadi sebenarnya bersifat sementara (temporer), sebagai akibat “ketergantungan” pasokan dari wilayah Barat. Untuk itu diperlukan adanya klaster-klaster pertumbuhan ekonomi baru di wilayah Timur, berupa komoditas, hasil-hasil tambang, perikanan, dan industri baru lainnya; yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepadan dengan wilayah Barat.
Ketiga, pemberdayaan pelayaran nasional dan industri perkapalan. Seiring dengan meningkatnya perdagangan dunia dimana 90 persen diangkut lewat laut, 70 persennya melewati perairan Indonesia, maka pemberdayaan pelayaran dan industri kapal harus menjadi tumpuan utama. Kita memiliki 17.504 pulau-pulau, panjang garis pantai 81.000 Km, dan luas laut 3.544.743 Km2. Pelayaran nasional niscaya menjadi alat strategis yang mampu mendongkrak kemajuan ekonomi dan politik. Namun persoalannya menjadi krusial ketika infrastruktur pelabuhan sebagai titik simpul ekonomi belum menampakkan sinkronisasi pelayanan seperti yang diharapkan. Sementara negara tetangga kita telah berhasil “ambil untung” memanfaatkan posisi silang dunia, dengan daya saing pelayanan dan kualitas pelabuhan yang lebih unggul.
Masalah waktu tunggu dan bongkar-muat (dwelling time) misalnya. Memang sejak tahun 2013 pemerintah sangat gencar melakukan pembenahan yang menyangkut waktu pelayanan di pelabuhan, dan kini sudah menampakkan hasil. Waktu tunggu sebelumnya diperlukan 7-8 hari, sekarang menjadi 3-4 hari, bahkan di Makassar lebih singkat lagi. Ini menunjukkan daya saing pelabuhan di Indonesia mengalami peningkatan. Namun dalam overview perdagangan maritim regional, masih tertinggal dengan negara tetangga. Singapura dan Malaysia, memiliki model pelabuhan transit yang memungkinkan satu hari bongkar muat langsung keluar dari pelabuhan. Thailand dan Vietnam 2-3 hari. Hal ini menunjukkan daya saing dan sinkronisasi pelayanan konektivitas maritim Indonesia masih jauh ketinggalan.
Dalam hubungan sebab-akibat yang lain, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi wilayah/pulau-pulau ke depan, Program Tol Laut tentunya tidak hanya dilayani oleh perusahaan pelayaran plat merah, tetapi harus melibatkan perusahaan swasta. Namun masih ada kendala. Perusahaan pelayaran sangat kesulitan melakukan pengadaan kapal-kapal baru atau bekas, karena regulasi finansial industri kapal belum kondusif.
Penyebabnya adalah, bunga perbankan sangat tinggi. Berkisar antara 10 hingga 12 persen pertahun dengan 100% kolateral (senilai pinjaman). Bandingkan dengan Singapura misalnya, perbankan hanya mengenakan bunga 4% pertahun. Bahkan China hanya 1%. Dengan equity sebesar 25% sudah mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah karena kapal itu sendiri sudah bisa menjadi jaminannya. Inilah penyebab utama kenapa pengusaha kapal nasional kesulitan mencari pembiayaan untuk membeli kapal.
Komitmen Integratif
Ikhtisar di atas memperlihatkan adanya ketergantungan satu sama lain di antara subsektor konektivitas maritim. Solusinya, harus ada komitmen integratif dari semua pemangku kepentingan dan ego sektoral harus dihilangkan.
Implementasinya, dengan melaksanakan pemberdayaan semua subsektor secara paralel dan koordinatif, serta memberi bobot prioritas pembangunan secara seimbang. Pembangunan pelabuhan misalnya, perlu digalakkan secara seimbang dengan pembangunan infrastruktur fisik lainnya (bisnis pelayaran, industri kapal, logistic, dan jasa pelabuhan); serta menata sistem regulasi dan insentif yang kondusif (infrastruktur nonfisik). Termasuk prioritas khusus membangun sentra-sentra industri dan komoditas wilayah Timur; didukung oleh Iptek, SDM maritim, dan sistem supply chain logistic yang memadai. Kita berharap tentunya ada realisasi berlanjut 2019-2024 melalui Program Nawacita jilid dua. Semoga.