BENCANA AWAL TAHUN
BENCANA alam berupa banjir melanda Ibukota dan daerah-daerah lain di negara kita di awal tahun 2020. Tidak hanya korban jiwa, banjir yang juga disertai tanah longsor di beberapa daerah menyebabkan kerugian harta benda yang tidak sedikit. Banyak orang tidak menyangka banjir terjadi sedahsyat itu yang menenggelamkan banyak wilayah di Jakarta dan sekitarnya serta daerah lain. Ribuan orang mengungsi dan dievakuasi akibat bencana alam itu. Demikian juga dampak ikutan dari banjir itu membuat masyarakat menderita.
Dan seperti biasa, kemudian banyak komentar berseliweran di berbagai pemberitaan dan media sosial. Komentar tersebut semakin ramai bahkan cenderung saling menyalahkan ketika dimuati dengan masalah politik. Padahal seharusnya bencana alam itu disikapi dan dilihat secara objektif dan dicari solusinya. Dengan adanya komentar saling menyalahkan, bukan solusi dan titik terang yang diperoleh; malah mambuat suasana tidak kondusif. Padahal seharusnya kita introspeksi kenapa bencana alam itu terjadi?
Bencana alam yang terjadi awal tahun 2020 ini selain disebabkan curah hujan yang tinggi, juga disebabkan oleh kerusakan alam dan tidak disiplinnya manusia. Kawasan-kawasan yang seharusnya dilestarikan, “disikat” habis oleh tangan-tangan serakah. Kawasan yang memang merupakan tempat “lari” dan berkumpulnya air hujan dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan, industri, dan peruntukan lain. Hutan-hutan yang semula rimbun dengan pepohonan kemudian ditebangi, sehingga gundul dan hamparan lahan jadi kering kerontang. Ketika terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi, maka air tidak mampu diserap tanah yang lantas “mengamuk” ke kawasan permukiman masyarakat dan tempat-tempat lainnya.
Selain hal-hal tersebut, banjir dan bencana terjadi karena kurangnya perhitungan dalam pembangunan. Lihatlah bangunan-bangunan peninggalan kolonial Belanda seperti benteng di berbagai daerah di Tanah Air yang sudah berusia ratusan tahun, usai hujan tidak menyisakan air genangan. Di era milenial ini yang seharusnya lebih maju dibandingkan masa lalu, malah menyuguhkan hal memalukan. Contohnya di Jakarta, ada jalan tol layang berubah menjadi “air terjun”. Kurangnya pemeliharaan dan pengawasan terhadap sarana dan prasarana juga turut andil terjadinya banjir. Saluran air dan gorong-gorong yang seharusnya bersih, nyatanya dipenuhi sampah. Masyarakat yang sudah seharusnya tidak membuang sampah sembarangan, tetap saja dengan seenaknya membuang sampah di sembarang tempat. Akibatnya banjir besar terjadi dimana-mana. Perilaku membuang sampah di sembarang tempat memunculkan ungkapan sinis yang menyatakan bahwa tempat sampah terbesar di Indonesia adalah sungai, kali, dan laut.
Melihat kenyataan itu, maka gerakan disiplin nasional yang pernah kita trapkan di negara kita tampaknya perlu digaungkan kembali. Tidak disiplinnya masyarakat benar-benar terlihat gamblang dalam kehidupan sehari-hari. Sanksi atau ancaman hukum tidak menggentarkan masyarakat. Mereka tetap saja melakukan pelanggaran. Paling mudah dilihat adalah perilaku membuang sampah sembarangan dan dalam berkendaraan bermotor. Sudah bukan hal aneh kita bisa melihat masyarakat yang mengendarai kendaraan roda dua dengan cara melawan arus lalu-lintas. Hal itu selain membahayakan orang lain, juga bisa menyebabkan celakanya pengendara itu sendiri. Ironisnya, perilaku seperti itu juga dilakukan oleh oknum aparat pemerintah.
Yang lucu, ketika masyarakat kita pergi ke negara tetangga yang memang benar-benar menegakkan hukum dan displin masyarakat kita; tidak ada yang berani melakukan pelanggaran. Jangankan membuang sampah sembarangan, meludah pun tidak berani. Artinya apa? Masyarakat takut terkena sanksi ketika melakukan pelanggaran di negara tetangga itu. Lantas bagaimana dengan negara kita? Karena itu hukum harus benar-benar ditegakkan. Janganlah perundangan-undangan dan peraturan yang seabreg hanya menjadi “macan kertas” di negeri sendiri. Revolusi mental harus benar-benar diikuti oleh masyarakat. Masyarakat harus move on dan penegakan hukum harus dilakukan. Tanpa penegakan hukum yang tegas, maka pelanggaran dan sikap tidak disiplin akan tetap mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat kita.
Hal itu juga berlaku bagi seluruh pihak yang melakukan pelanggaran dan menyebabkan terjadinya bencana alam di negara kita. Jangan sampai bencana demi bencana terjadi gara-gara ulah masyarakat yang tidak taat hukum dan melakukan perusakan lingkungan. Jangan sampai ada oknum penegak hukum yang “TST” atau “main mata” dengan pelanggar hukum yang telah terbukti melakukan perusakan lingkungan alam di negara kita. (ab)