Pemilu pada dasarnya adalah memilih kepemimpinan nasional, dalam siklus lima tahunan, untuk membangun negeri ini menuju cita-cita Nusantara yang adil, makmur, dan sejahtera. Implementasi mencari pemimpin nasional diwujudkan dalam proses demokrasi, dengan terbangunnya koalisi partai pasca Pemilu legislatif. Koalisi dilakukan karena menurut UU Pemilu, partai bisa mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden apabila perolehan suara legislatif mencapai minimal 20%. Gabungan dari beberapa partai dalam koalisi itulah yang bisa mengusung nama-nama Capres dan Cawapres. Konteksnya adalah, bahwa partai-partai sebagai sarana demokrasi tugasnya hanyalah mengantarkan dan menjadikan para pemimpin di negeri ini untuk melaksanakan pembangunan nasional mencapai cita-cita Proklamasi. Implementasi pengabdiannya merupakan tanggung jawab para pemimpin itu sendiri. Terlepas siapa anggota legislatif dan Capres/Cawapres yang diantar partai koalisi, rakyat tentu menginginkan pemenangnya merupakan hasil terbaik bagi bangsa ini. Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang benar-benar memerjuangkan kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian tentu tugas-tugas kepemimpinan nasional ke depan tidaklah ringan mengingat Indonesia kini masih memiliki permasalahan klasik, terutama masalah kemiskinan. Sampai Maret 2018, data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin masih 26,9 juta atau 9,82%. Belum lagi ketimpangan pembangunan antarwilayah masih besar. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, proses pembangunan nasional telah menuai perjalanan panjang. Sebagai bangsa yang cerdas kita harus dapat memetik pelajaran yang sangat berharga dari tiap kurun waktu perjalanan sejarah, untuk mencegah terulangnya kesalahan yang sama. Bahkan pencapaian pembangunan yang selama ini telah berjalan tentu telah mencapai sasaran-sasarannya, tetapi belum mampu menyejahterakan rakyat secara adil dan merata pada tingkat yang diharapkan. Apa yang salah dengan kondisi semacam itu? Dalam pandangan visi negara kepulauan, tampaknya arah pembangunan kita belum konsisten dengan jati diri bangsa sebagai bangsa maritim. Akibatnya pembangunan Indonesia Timur yang wilayahnya 80% lautan mengalami ketertinggalan dibandingkan Indonesia Barat. Itulah pentingnya dilakukan perubahan menuju paradigma pembangunan yang berorientasi maritim. Kendatipun telah dicanangkan kebijakan 5 (lima) pilar pembangunan maritim, namun belum menunjukkan perubahan signifikan. Selama ini dalam implementasinya masih terjadi kesenjangan yang menghambat karena tidak ada penggerak yang mampu mengubah pembangunan nasional berorientasi darat menjadi berorientasi maritim. Mengatasi kesenjangan itu memerlukan kepemimpinan nasional yang kuat, yang bisa menentukan/mengimplementasikan kebijakan dan strategi maritim. Kedepan, dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa dan tata kelola pemerintahan, saat menyongsong kepemimpinan baru dan pemerintahan baru sebagai hasil Pemilu perlu terus digelorakan komitmen dan penegasan kembali jati diri bangsa sebagai bangsa maritim.
Kini saatnya kepemimpinan nasional dan pemerintahan yang baru menetapkan keberlanjutan komitmen pembangunan nasional, melalui suatu strategi dan kebijakan maritim yang integral. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia belum mampu mentransformasikan potensi kekayaan maritim menjadi sumber kemakmuran, kemajuan, dan kedaulatan bangsa. Indonesia bahkan mempunyai posisi geopolitis antara benua yang menghubungkan negara-negara ekonomi maju. Posisi geopolitis tersebut memberikan Indonesia sebagai jalur perekonomian dunia. Untuk mengembangkan potensi strategis tersebut, kepemimpinan nasional harus memiliki visi maritim yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Bersyukur, sejak 2014 mulai terbit harapan ketika pemerintahan Jokowi-JK mencanangkan visi maritim dengan adagium Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Namun seberapa jauhkah pencapaian pembangunan maritim itu terimplementasikan, tentu masih menjadi bahasan tersendiri.
Secara historis sesungguhnya tekad negara maritim itu sudah dirintis sejak 13 Desember 1957 melalui Deklarasi Djuanda, yang telah diakui dunia dengan ditetapkannya UNCLOS 1982. Pasca Deklarasi Djuanda inilah kemudian muncul kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan berkaitan dengan kelautan/kemaritiman. Kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut mengukuhkan tentang yurisdiksi perairan Indonesia. Harus diakui beberapa sasaran pembangunan selama ini telah banyak dicapai. Namun demikian, sampai saat ini kebijakan pemerintah tentang kemaritiman masih belum memberi hasil ekonomis yang signifikan. Undang-Undang dan peraturan perundangan kemaritiman yang ada pun masih ada yang tumpang-tindih belum menunjukkan integrasi menyeluruh. Budaya maritim yang menjadi jatidiri bangsa selama ini belum mewarnai paradigma pembangunan nasional secara jelas. Oleh karena itu, semangat menjadikan bidang maritim sebagai basis ekonomi pembangunan harus didukung oleh visi dan konsensus/komitmen bersama semua pengambil kebijakan. Pembangunan kemaritiman, sejauh ini belum diposisikan sebagai arus utama (main stream) dalam pembangunan nasional. Dalam rangka merumuskan dan mengimplementasikan strategi dan kebijakan itu perlu diambil langkah-langkah nyata dan operasional. Langkah-langkah itu diantaranya dengan menetapkan Kebijakan Maritim berisikan peta-jalan pembangunan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang. Termasuk memerkuat kelembagaan nasional yang mencakup kewenangan tidak hanya dalam aspek kewilayahan, tetapi juga mempunyai akses kuat di bidang politik, ekonomi, Hankam, dan hubungan internasioal serta aspek legal yang lain. Dengan kata lain, harus ada political will yang kuat dalam sistem kepemimpinan nasional kita.
Dalam perspektif kepemimpinan nasional, subyek kepemimpinan adalah kekuatan imperatif/penggerak dan yang bisa memengaruhi proses pembangunan menuju kemakmuran dan kesejahteraan sesuai cita-cita Proklamasi yang kita harapkan. Pada sisi lain, kita belum memperoleh “sesuatu” dengan kekayaan laut yang sedemikian luas, dimana 90% transaksi perekonomian dunia berlangsung di atas hamparan kelautan, 40% di antaranya melalui lautan Indonesia.
Logikanya, Indonesia seharusnya mempunyai nilai lebih dibanding negara lain seperti Singapura, China atau Jepang misalnya. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi kita belum menampakkan hasil yang memuaskan dibanding dengan negara lain yang mengandalkan sumber kekayaannya dari kemaritiman. Oleh sebab itu, diperlukan kepemimpinan nasional yang mampu melakukan perubahan pola dan gaya pemerintahan (style of government) berikut paradigma pembangunannya dari yang berorientasi darat menjadi yang berorientasi negara kepulauan/maritim.
Produk Pemilu, yaitu Presiden dan Wakil Presiden sebagai lembaga eksekutif, dan anggota DPRdan DPD sebagai lembaga legislatif bisa saling bersinergi dan bekerjasama sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing demi kepentingan rakyat dalam visi negara maritim.
Reorientasi pembangunan dengan strategi dan kebijakan integral yang tepat akan menjadikan NKRI menjadi negara maritim yang besar dan kuat, yang di dalamnya dibangun industri modern dan pertanian yang maju. Inilah keunggulan komparatif kita, yaitu kelebihan-kelebihan geografis, geopolitis, geoekonomis, dan geososial yang patut dimanfaatkan dalam melaksanakan pembangunan nasional.**