Tata Kehidupan Baru
SETELAH beberapa bulan didera Covid-19, pemerintah daerah –seperti Provinsi DKI Jakarta– secara bertahap melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Masyarakat yang sudah berbulan-bulan “bertapa” di rumah masing-masing, merasa bisa bernapas lega. Kejenuhan dan kebosanan yang dirasakan masyarakat benar-benar sudah klimaks, karena setiap hari harus “mendekam” di rumah.
Akibat adanya pelonggaran itu, masyarakat yang terpapar virus corona tidak semakin berkurang. Bahkan data terakhir, jumlah korban virus di negara kita melebihi jumlah korban di Tiongkok. Negara Tirai Bambu itu merupakan negara yang diberitakan sebagai awal munculnya Covid-19 yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, tapi Tiongkok akhirnya mampu meredam virus corona. Sementara di negara-negara lain, termasuk Indonesia, virus masih merebak.
Kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia harus menjadi bahan perhatian, pemikiran, dan penelaahan serius kita semua: kenapa penyebaran Covid-19 seolah tidak ada hasilnya? Atau kalaupun ada hasilnya, tapi lamban. Memang jumlah orang yang sembuh cukup banyak, tapi yang terpapar juga terus bertambah. Sangat menyedihkan.
Untuk itu mari kita lihat apa yang menjadi kenyataan di lapangan. Pada awal terjadinya Covid-19 di Indonesia, masyarakat benar-benar takut dan panik luar biasa. Jalanan, angkutan umum, pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, dan tempat-tempat keramaian menjadi sepi. Masker, hand sanitizer, dan obat-obatan yang diduga mampu menangkal virus corona, “diserbu” masyarakat. Akibatnya harga barang-barang itu melambung tinggi. Tapi, bagaimana saat ini? Masker dengan berbagai jenis dan rupa sangat mudah dibeli masyarakat. Pedagang masker berderet di tepi jalan dan harga maskernya terjangkau masyarakat. Demikian juga hand sanitizer yang sudah banyak di pasaran. Seharusnya –secara logika– keadaan itu mampu menekan jumlah korban Covid-19.
Masih banyaknya korban Covid-19 di negara kita bisa diduga akibat kesadaran dan perilaku masyarakat yang menganggap remeh penyakit itu dan menduga sudah berkurang penyebarannya. Apalagi dengan diperlonggarnya PSBB. Masyarakat merasa seolah Covid-19 sudah berlalu. Padahal jumlah korbannya terus bertambah, termasuk para tenaga kesehatan yang berguguran saat mengemban tugas mulia itu.
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia menyadarkan umat manusia bahwa kehidupan di Bumi ini harus “diinstal” atau ditata kembali. Mengutip pernyataan apik Wakil Sekjen Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr. H Nadjamuddin Ramly, M.Siyang juga pengajar di Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah yang mengatakan, kedepan masyarakat harus memulai kehidupan normal baru dengan membudayakan protokol kesehatan sebagai karakter pribadi. Dari karakter pribadi, nantinya bergulir menjadi gerakan budaya baru Bangsa Indonesia.
Gerakan budaya baru itu akan bermuara pada lahirnya peradaban yang tinggi, dimana umat manusia sudah hidup pada tatanan yang melekat pada kehidupan sehat dan merekonstruksi masa depannya secara sistemik dan berkelanjutan. Protokol kesehatan itu merupakan gagasan cerdas, bernas, dan mencerahkan dalam menghadapi pandemi corona.
Ia juga menyitir jargon “Empat Sehat Lima Sempurna” versi masa kini. Pola hidup sehat di era pandemi ini juga diharapkan menjadi tradisi yang melekat di kehidupan pasca-pandemi mendatang.
“Empat Sehat Lima Sempurna” dalam tata kehidupan baru itu: pertama, masyarakat agar senantiasa mengenakan masker; kedua, menjaga jarak sehat; tiga, selalu mencuci tangan; empat, olahraga yang teratur atau istirahat yang cukup dan tidak panik; dan lima, makan makanan bergizi, halal, dan baik.
Jika protokol kesehatan ini telah menjadi gerakan masif dan membudaya di masyarakat kita, maka dengan sendirinya akan memutus mata-rantai berjangkit dan menularnya virus corona. Semoga. (ab)