Jakarta – Siapapun yang akan menjadi pemenang dalam Pilpres 17 April 2019, perlu memutuskan bahwa pembangunan maritim Indonesia adalah tujuan pembangunan strategis pemerintah ke depan, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun luar negeri.
Kebijakan seperti itu dilakukan oleh Pemerintah Norwegia. “Dubes Vegard Kaale menjelaskan apa yang dilakukan pemerintahnya, yaitu penggunaan teknologi ramah lingkungan, digitalisasi, pengelolaan inovatif sumber daya laut, diplomasi internasional, serta perang terhadap IUU Fishing dan polusi plastik,” kata Pengajar di Universitas Pertahanan (Unhan) RI Prof Dr Makarim Wibisono, MA-IS, MA dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut (PPAL) Pusat, di Gedung Wisma Elang Laut (WEL), Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Selain Prof Makarim, FGD yang bertema “Politik Pembangunan Maritim Berkelanjutan Mewujudkan Kejayaan Maritim Indonesia” juga menghadirkan tiga narasumber lainnya yaitu Ketua Senat Akademik Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Ir Tridoyo Kusumastanto, MS, PhD; Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ir Arifin Rudiyanto, MSc, PhD; dan Wakil Ketua I DPD RI Letjen TNI (Mar/Purn) Dr Nono Sampono, MSi.
Prof Makarim Wibisono mengutip pernyataan Presiden Jokowi pada Ocean Conference di Bali, November 2018. Mengapa masalah maritim menjadi penting, karena 90% dari volume perdagangan dunia didistribusikan lewat laut, 40% dari jumlah nilai perdagangan dunia diangkut lewat laut, 60% dari produksi minyak didistribusikan lewat laut, kekayaan maritim diperkirakan US$ 424 triliun, Keppres Nomor 83/2018 pedoman mengurangi sampah plastik, dan Rencana Aksi Nasional 2017 untuk mengurangi 70% sampah plastik di tahun 2025.
Juga dikemukakan bahwa negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi-organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi) melakukan riset dan menilai bahwa sejumlah industri maritim memiliki prospek menarik, yaitu pengolahan ikan, energi angin lepas pantai, pembangunan kapal, dan pengelolaan pelabuhan. Untuk mewujudkan hal tersebut, persyaratannya adalah memelihara agar laut tetap bersih dan melakukan proyek-proyek yang bertujuan untuk mengurangi sampah plastik, seperti di Laut Jawa dan Bali.
Jika ingin memanfaatkan laut untuk Sustainable Development Goals (SDG), kata Makarim, maka harus diatasi adanya ancaman terhadap lautan misalnya terjadi perubahan iklim, sampah, dan polusi laut; mencegah illegal, unreporting, unregistered (IUU) fishing; mencegah usaha yang akan menghilangkan habitat dan keanekaragaman hayati; dan memastikan adanya keamanan maritim (maritime sucurity).
Disamping itu, Indonesia menjadi anggota Panel Tingkat Tinggi beranggotakan 11 negara yang merumuskan peta jalan transisi ke ekonomi kelautan yang berkelanjutan; dan PBB akan menyelenggarakan Ocean Conference 2020.
Pada FGD PPAL sesi pertama yang dimoderatori Laksda TNI (Purn) Dr Surya Wiranto, SH, MH itu; Prof Makarim Wibisono menegaskan bahwa Indonesia harus memperkuat maritimnya dengan cara membuat rencana pembangunan nasional berbasis maritim, meningkatkan Alutsista TNI AL antara lain meliputi alat deteksi drone bawah laut yang banyak berseliweran di perairan Asia Tenggara, memperkuat kapal-kapal pemukul TNI AL, sehingga menimbulkan deterrence. “Dan kalau diperlukan manuver militer oleh negara-negara besar tidak melakukannya di perairan Indonesia,” kata Makarim.
Strategi berikutnya adalah meningkatkan jumlah armada niaga dengan kebijakan insentif dan permudah pemberian pinjaman tanpa trambahan kolateral, pusatkan investasi di Indonesia Timur dan membuat pengangkut berpendingin, sehingga kapal-kapal tol laut kembali dari mengedrop supply tidak kosong.
Empat Penyakit Kronis Bangsa
Prof Tridoyo Kusumastanto dalam paparannya mengatakan kegagalan pembangunan, termasuk pembangunan maritim tidak lepas dari empat penyakit kronis bangsa, yaitu rutinitas, budaya jalan pintas, budaya instan, dan inferioritas.
“Budaya rutinitas akan menyebabkan ketertinggalan dan kemunduran, karena tidak ada breakthrough. Budaya jalan pintas menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan tidak peduli pada kepentingan orang lain. Budaya instan menyebabkan hilangnya etos kerja yang berakibat pada rendahnya daya saing bangsa, dan inferioritas menyebabkan runtuhnya sendi-sendi percaya diri nasionalisme dan kedaulatan bangsa,” katanya. Keempat kelemahan budaya tersebut berimbas pada kinerja bidang maritim, tambahnya.
Ia juga mengemukakan bahwa Indonesia sebagai negara maritim harus memiliki sumber daya manusia yang kompetitif, mampu mengembangkan keunggulan bidang kelautan nasional, dan melakukan regulasi-regulasi peraturan.
Mengenai Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, menurut Prof Tridoyo, maka harus ada kontribusi dalam membangun peradaban maritim dunia melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaart dalam memajukan umat manusia, memberikan peran sebagai lintasan perdagangan dunia yang mampu mengembangkan efisiensi dan meningkatkan kemakmuran bangsa-bangsa di dunia, serta mampu mengembangkan diplomasi dan kebijakan maritim dunia yang mendorong pemanfaatan dan pengelolaan laut secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Kepada para peserta FGD, Prof Tridoyo memaparkan bahwa total potensi ekonomi Indionesia bidang kelautan Indonesia mencapai US$171 miliar/tahun, meliputi perikanan sebesar US$ 32 miliar/tahun, wilayah pesisir US$ 56 miliar/tahun, bioteknologi US$ 40 miliar/tahun, wisata bahari US$ 2 miliar/tahun, minyak bumi US$ 21 miliar/tahun, dan transportasi laut US$ 20 miliar/tahun.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ir Arifin Rudiyanto, MSc, PhD dalam paparannya mengurai mengenai kerangka pembangunan kemaritiman. Tujuannya adalah visi jangka panjang pembangunan Indonesia 2005-2025 mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
Sasaran pokoknya adalah terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia, meningkatkan dan menguatkan sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan Iptek, menetapkan wilayah NKRI, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara; membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan, dan mengurangi dampak bencara pesisir, dan pencemaran laut. “Strategi utamanya adalah memperkuat politik maritim dan memperkuat ekonomi maritim,” kata Ir Arifin.
Kedua strategi utama itu kemudian dijabarkan dalam inisiatif strategik yang meliputi menempatan NKRI sebagai Poros Maritim Dunia, karena kekuatan kemaritiman global belum seimbang dan perlu keseimbangan baru; membangun kekuatan pertahanan maritim di Asia Timur yang disegani, yakni pengembangan potensi nasional menjadi kekuatan Hankam di bidang maritim; penguasaan SDA, baik Migas, perikanan, maupun wisata bahari disertai dengan penguatan sarana prasana dengan meningkatan proses nilai tambah di dalam negeri untuk semua produk kelautan; serta mengoptimalkan konektivitas kelautan berupa pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru.
Pada FGD sesi kedua dengan moderator Budiman Tanuredjo (Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas), Ir Arifin Rudiyanto menyampaikan mengenai pembangunan kemaritiman berkelanjutan yang meliputi penegakan kedaulatan dan yurisdiksi nasional di perbatasan dan ZEE, mengembangkan data dan informasi kelautan menyangkut potensi kelautan, koordinasi, dan jaringan sistem informasi kelautan; meningkatkan pemanfatan potensi laut dan dasar laut meliputi industri pengolahan, aglomerasi industri, dan SDM; mengembangkan potensi industri kelautan meliputi keterkaitan antarindustri, iklim kondusif, sistem transportasi, dan kawasan cepat tumbuh; meningkatkan harkat dan taraf hidup nelayan; mempertahankan daya dukung dan kelestarian fungsi lingkungan laut termasuk budaya kelautan dan law enforcement; dan memperkuat Pertahanan Maritim.
Letjen TNI (Mar/Purn) Dr Nono Sampono, MSi dalam paparannya membahas mengenai peran strategis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik dalam tujuan Poros Maritim Dunia, yaitu menjaga kawasan Asean agar tidak masuk dalam wilayah konflik, menjamin keamanan dan kelancaran arus pelayaran di perairan Indonesia, khususnya dari dan ke Laut China Selatan; melakukan diplomasi maritim dengan mengedepankan saling percaya dan kerjasama yang saling menguntungkan demi kepentingan bersama di kawasan. “Untuk hal-hal tersebut, Indonesia perlu memperkuat posisi tawar dengan membangun Kekuatan Maritim, baik di bidang ekonomi maupun militer,” katanya.
Mengenai potensi ekonomi maritim Indonesia, Wakil Ketua DPD RI itu mengemukakan potensi itu meliputi perikanan, transportasi laut, industri maritim, pertambangan dan energi, bangunan kelautan, pariwisata bahari, jasa-jasa kelautan, dan BMKT (benda muatan kapal tenggelam/harta karun).
Potensi sumber daya mineral dan energi meliputi minyak dan gas bumi, mineral, dan energi alternatif (energi gelombang, pasang surut, arus, OTEC/ocean thermal energy conversion). Sedangkan potensi wisata bahari adalah pusat keanekaragaman tropis dunia (sekitar 70 genus dari karang, 17,95% terumbu karang dunia ada di Indonesia), 30% hutan bakau dunia ada di Indonesia, tempat padang lamun dan kima terbanyak, serta BMKT.
Dr Nono Sampono juga mengemukakan langkah-langkah strategis mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, di antaranya menyiapkan SDM dilakukan dengan cara perubahan mindset (pola pikir), mainstreaming, dalam bidang pendidikan memasukkan wawasan bahari, menyiapkan alih teknologi maritim, dan memperkuat kesadaran lingkungan laut/maritim; penguatan dan pembangunan infrastruktur maritim, optimalisasi pemanfaatan potensi maritim, dan kerjasama internasional.
Paparan para narasumber yang dilanjutkan dengan diskusi itu dihadiri para pejabat pemerintahan dan TNI, kalangan swasta, para purnawirawan dari ketiga Angkatan, serta Pengurus PPAL Pusat. (abj)