Jakarta – Memerangi degradasi lingkungan maritim dan lautan Indonesia adalah prioritas mendesak. Lingkungan maritim di laut dan samudera kita terus dirusak oleh aktivitas ekonomi kita yang terus berkembang.
Area ini telah terpapar polusi dari daratan, meningkatnya emisi kapal, banyaknya wisatawan, penangkapan ikan yang ilegal dan tidak terlaporkan, termasuk dampak negatif dari perubahan iklim. Tidak mengherankan, banyak pemangku kepentingan mengatakan bahwa kelestarian lingkungan laut kita harus menjadi perhatian utama kita. Mereka benar, tentu saja, karena pada akhirnya semua kegiatan maritim bergantung pada potensi maritim dan lautan yang sehat.
Demikian Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Siwi Sukma Adji, SE, MM dalam keynote speech-nya yang dibacakan Korsahli Kasal Laksda TNI Muhammad Ali, SE, MM pada acara Focus Group Discussion (FGD) PPAL dengan tema “Politik Pembangunan Maritim Berkelanjutan Mewujudkan Kejayaan Maritim Indonesia”, di Gedung Wisma Elang Laut (WEL), Jakarta, Kamis (21/2/2019).
(Baca juga: Dari Kegiatan FGD PPAL: Maritim, Pusat Strategi Pemerntah RI)
“Itulah sebabnya, kita harus bekerja keras untuk hal-hal tersebut. Instrumen-instrumen ini adalah bagian tak terpisahkan dari pendekatan holistik kebijakan maritim terintegrasi, seperti keinginan kita bersama untuk bekerja secara aktif dalam memastikan suatu keamanan maritim untuk mendukung politik pembangunan maritim berkelanjutan. Dengan terlihatnya kemajuan dalam forum-forum maritim yang kurang pesat, Indonesia perlu mempertimbangkan opsi-opsi lain untuk bertindak,” kata Kasal.
Kebijakan ini, juga bertujuan untuk mempromosikan keberlanjutan industri perikanan. Pemerintah telah mengambil tindakan tegas terhadap praktik penangkapan ikan yang merusak dan penangkapan ikan ilegal. Tidak seorang pun seharusnya meremehkan skala masalah penangkapan ikan ilegal ini, tegas Kasal lagi.
Kemudian, bagaimana kita bisa menyelamatkan pertumbuhan ekonomi dari degradasi lingkungan dan ancaman maritim yang terus meningkat, tanya Kasal lebih lanjut.
Tidak ada jawaban yang mudah. Kita perlu memulai, pertama, dengan memperbaiki cara pendekatan dan pengambilan keputusan tentang masalah kelautan. Kedua, kita harus berinvestasi lebih banyak dalam Ilmu Kelautan, Penelitian dan Teknologi, serta Pertahanan dan Keamanan Maritim.
“Kita tidak boleh terus memisahkan pengambilan keputusan kita melalui bidang-bidang tata kelola sektoral yang terkotak-kotak. Visi bersama adalah bahwa semua urusan maritim saling terkait. Jadi, kebijakan terkait sektoral pembangunan maritim kita perlu dikembangkan secara terpadu. Dengan kata lain, kita perlu membangun proses pengambilan keputusan yang terkoordinasi dengan mengembangkan kebijakan ini di bawah kerangka kerja keseluruhan yang lebih luas dan lebih strategis. Hanya dengan cara ini kita akan dapat bergerak ke arah yang lebih terintegrasi, dan membuat kita lebih efektif dan efisien dalam pengelolaan urusan kemaritiman kita. Tujuannya hanya satu yaitu untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dan Bangsa Indonesia,” ujar Kasal Laksamana TNI Siwi Sukma Adji.
Diperlukan Komitmen Politik
Ketua Umum PPAL Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi, SE, MAP yang diwakili Wakil Ketua Umum II PPAL Laksdya TNI (Purn) Dr Widodo dalam sambutannya mengatakan dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa dan tata kelola pemerintahan, saat menyongsong kepemimpinan baru dan pemerintahan baru sebagai hasil Pemilu 2019; kita perlu memperteguh kembali jatidiri bangsa sebagai bangsa maritim.
Dengan political will yang kuat, tentu hal ini bisa menjadi momentum kebangkitan menuju kejayaan maritim Indonesia yang diharapkan. Diperlukan komitmen politik pembangunan maritim, melalui kebijakan dan strategi yang integral dan berkelanjutan.
Dikatakan, politik pembangunan maritim menyangkut hal-hal strategis yang terkait dengan hukum dan perundang-undangan, good governance, kebijakan dan strategi yang komprehensif, dan kepemimpinan nasional yang kuat. Hal tersebut harus menjadi program nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan. “Analoginya adalah, kita harus dapat menguasai, mengelola, dan memanfaatkan sumberdaya laut secara optimal dengan meletakkan aspek maritim/kelautan sebagai arus utama (main stream) pembangunan yang terintegrasi dengan pulau-pulau (daratan) dan udara. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan ketika kekayaan alam yang begitu besar itu harus dijadikan obyek utama pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam negara maritim yang kuat dan tangguh,” kata Ketua Umum PPAL.
Juga dikemukakan, secara historis sesungguhnya tekad negara maritim sudah dirintis sejak 13 Desember 1957 melalui Deklarasi Djuanda, yang telah diakui dunia dengan ditetapkannya UNCLOS 1982, dan telah diratifikasi ke dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pasca Deklarasi Djuanda inilah kemudian muncul kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kelautan/kemaritiman.
Melalui kepemimpinan dari masa ke masa, kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut telah mengalami pasang-surut implementasi, namun belum mengartikulasikan pembangunan maritim berkelanjutan sebagai komitmen politik nasional. “Diperlukan suatu kebijakan dan strategi jangka panjang melalui Undang Undang, dilaksanakan secara berkesinambungan oleh siapapun pemimpinnya, berikut paradigma pembangunannya yang berorientasi negara kepulauan/maritim (archipelagic/maritime base oriented),” ucap Ketua Umum PPAL lagi.
Kesimpulan dan Saran
Pelaksanaan FGD PPAL diakhiri dengan pembacaan kesimpulan dan saran oleh Ketua Panitia FGD PPAL Laksda TNI (Purn) Ir Darmawan, MM yang menyatakan bahwa para narasumber telah menyampaikan pandangan komprehensifnya masing-masing, yang dapat menjadi kontribusi solutif terhadap masa depan kemaritiman Indonesia.
Perspektif Global
Terkait dengan Sustainable Developments Goals (SDG), dalam tujuan ke-14 dinyatakan adanya pembangunan ekosistem kelautan, berisikan kaidah-kaidah pengelolaan laut untuk menunjang kehidupan manusia yang lebih baik. Sumberdaya kelautan harus memberi manfaat untuk memerangi kemiskinan, dengan memberdayakan sumberdaya alam lestari secara maksimal, memelihara keseimbangan populasi biota laut dan mengatasi masalah polusi (misalnya sampah plastik).
Dalam aspek lingkungan strategis, konflik Laut China Selatan merupakan fakta kontemporer adanya pergeseran perebutan sumberdaya alam dari arena kontinental ke arena laut, karena laut mengandung kekayaan yang bersifat sustainable. Selain itu China memiliki program Belt Road Initiative (BRI), yang menunjukkan agresivitas China dalam memobilisasi sumberdaya maritimnya demi kepentingan nasional mereka Bagi Indonesia, hal ini merupakan ancaman strategis tetapi sekaligus menjadi peluang. Karena itu, Indonesia harus dapat mengantisipasi dengan suatu kalkulasi politik/ekonomi yang cermat dan efektif.
Dalam hal kerjasama regional/global yang berkaitan dengan sistem konektivitas maritim, hal tersebut diimplementasikan melalui forum/lembaga Asean, APEC, IMO, SOLAS, Resolusi SDG, dan lain-lain.
Untuk mengantisipasi dinamika global tersebut, maka Indonesia harus mengutamakan strategi pembangunan yang berorientasi maritim secara berkelanjutan.
Penguasaan Sumberdaya Kelautan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, mempunyai potensi ekonomi maritim yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan. Saat ini, potensi nilai ekonomi bidang kelautan sebesar USD 171 miliar/tahun, yang mampu menyerap lapangan kerja 45 juta orang atau 35% dari total angkatan kerja. Dari perspektif politik-keekonomian, jika Indonesia mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (di atas 7%/tahun), diprediksi akan menjadi negara maju dan makmur pada tahun 2045. Namun, sampai saat ini potensi maritim tersebut baru bisa dimanfaatkan 25 %.
Peran ekonomi kelautan dalam struktur perekonomian Indonesia kurang berkembang dengan baik. Kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional, hingga 2017 sebesar 28,6% (data BPS); dengan pertumbuhan yang sangat kecil (< 3%). Hal ini disebabkan, belum adanya pemerataan pembangunan infrastruktur kelautan secara memadai dan dipengaruhi oleh kegagalan membangun budaya maritim bangsa.
Untuk menjadi negara maritim yang kuat dan tangguh, diperlukan penyusunan grand design pembangunan maritim yang meliputi sektor-sektor perikanan, pariwisata bahari, industri maritim, pertambangan dan energi, transportasi laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan; yang harus berpihak pada pengembangan sumberdaya manusia. Indonesia akan lebih maju kalau didukung oleh sumberdaya manusia yang baik yang dibentuk melalui pendidikan kelautan, budaya maritim, serta penguasaan riset dan teknologi.
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Maritim
Visi RPJP (2005-2025), Indonesia adalah menjadi negara kepulauan yang yang maju, mandiri dan kuat; dalam implementasinya perlu dukungan political will kepemimpinan nasional yang kuat, strategi pentahapan yang jelas, dan landasan hukum yang memadai. Dengan demikian, sesuai dengan karakteristik bidang maritim yang multi dimensi, multi sektor, dan multi stakeholders, maka sangat penting adanya inisiatif politik pembangunan yang berkesinambungan jangka panjang.
Pendekatan kebijakan maritim di Indonesia menggunakan model ad-hoc approach, padahal sebagai negara kepulauan, seharusnya Indonesia menggunakan policy based approach yang menekankan kebijakan terpadu kewilayahan/pulau-pulau dengan prioritas tertentu.
Konsep pembangunan maritim kedepan hendaknya fokus pada SDM maritim dan potensi SDA sebagai “mesin” ekonomi maritim, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.
Tata Kelola Pemerintahan Berorientasi Maritim
Indonesia sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia (63% wilayah laut, 37% darat) meliputi 17.499 pulau dengan luas laut 5,8 juta Km2 dan 2,9 juta Km2 luas daratan. Inilah ruang hidup Bangsa Indonesia yang dianugerahkan Tuhan YME yang apabila kita kelola dengan baik dan benar, maka peran strategis Indonesia di kawasan Asia-Pasifik sangat dominan di abad milenium ini menjadi Poros Maritim Dunia.
Potensi total ekonomi sektor kelautan Indonesia pada 11 sektor kelautan Indonesia diperkirakan sebesar US$ 1,3 triliun pertahun dan mampu menyerap tenaga kerja berpotensi mencapai 40 juta orang (Firmanzah 2012, Rokhmin Dahuri 2016).
Persoalan mendasar yang kita hadapi dalam pembangunan maritim, antara lain: Pemerintah dengan jajaran dan komponen masyarakat/bangsa, belum/kurang memahami secara utuh memiliki visi yang sama dalam mengelola dan memberdayakan semua potensi maritim kita.
Untuk itu saran yang disampaikan adalah Indonesia harus segera menentukan pilihan politik nasionalnya dengan menyusun grand design pembangunan maritim berkelanjutan, dalam suatu Undang Undang tentang kebijakan pembangunan maritim jangka panjang/menengah/pendek yang dapat diimplementasikan oleh siapapun pemimpinnya. (abj)